Sulistiawan,
S.Pd
Sebentar lagi kita akan memasuki
tanggal 1 Muharram. Seperti kita ketahui bahwa perhitungan awal tahun hijriyah
dimulai dari hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu bagaimanakah pandangan Islam
mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan Muharram? Ketahuilah bulan
Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang mungkin banyak di antara kita
tidak mengetahuinya. Namun banyak di antara kaum muslimin yang salah kaprah
dalam menyambut bulan Muharram atau awal tahun. Silakan simak pembahasan
berikut.
Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram
Dalam agama ini, bulan Muharram
(dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara
empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala
berikut.
”Sesungguhnya bilangan bulan pada
sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu.”
(QS. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala
menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang,
keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan
bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ
muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu
tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam
syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan
dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli
Kitab.”[1]
Lalu apa saja empat bulan suci
tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
”Setahun berputar sebagaimana
keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua
belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya
berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi
adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[2]
Jadi empat bulan suci yang dimaksud
adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab. Oleh
karena itu bulan Muharram termasuk bulan haram.
Di Balik Bulan Haram
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut
disebut bulan haram ? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan,
”Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut
diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan
untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya
karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik
untuk melakukan amalan ketaatan.”[3]
Karena pada saat itu adalah waktu
sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat
suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan,
”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”
Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah
mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan
suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan
amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”[4]
Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan
Allah)
Suri tauladan dan panutan kita,
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
”Puasa yang paling utama setelah
(puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram.
Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[5]
Bulan Muharram betul-betul istimewa
karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah
Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah
yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.[6]
Perkataan yang sangat bagus dari As
Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullah
mengatakan, ”Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan
pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan
tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau
’Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di
sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya
keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama
Islami.
Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar
Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan
inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah
seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun
melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu
masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti
pada hari Arofah dan 10 Muharram. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan
Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama
dalam setahun dan pembuka tahun.”[7]
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy
mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan
syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?”
Beliau rahimahullah menjawab,
”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga
bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada
Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan
istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak
pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu
Muharram).[8]
Dengan melihat penjelasan Az
Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iroqiy di atas, jelaslah bahwa bulan Muharram
adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.
Menyambut Tahun Baru Hijriyah
Dalam menghadapi tahun baru hijriyah
atau bulan Muharram, sebagian kaum muslimin salah dalam menyikapinya. Bila
tahun baru Masehi disambut begitu megah dan meriah, maka mengapa kita selaku
umat Islam tidak menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi dengan
perayaan atau pun amalan?
Satu hal yang mesti diingat bahwa
sudah semestinya kita mencukupkan diri dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya.
Jika mereka tidak melakukan amalan tertentu dalam menyambut tahun baru
Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal ini.
Bukankah para ulama Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا
إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik,
tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.”[9] I
nilah perkataan para ulama pada
setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka
menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat
tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.[10]
Sejauh yang kami tahu, tidak ada
amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut tahun baru hijriyah. Dan
kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam menyambut tahun
baru Hijriyah adalah amalan yang tidak ada tuntunannya karena sama sekali tidak
berdasarkan dalil atau jika ada dalil, dalilnya pun lemah.
Amalan Keliru dalam Menyambut Awal
Tahun Hijriyah
Amalan Pertama: Do’a awal dan akhir
tahun
Amalan seperti ini sebenarnya tidak
ada tuntunannya sama sekali. Amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar lainnya. Amalan
ini juga tidak kita temui pada kitab-kitab hadits atau musnad. Bahkan amalan
do’a ini hanyalah karangan para ahli ibadah yang tidak mengerti hadits.
Yang lebih parah lagi, fadhilah atau
keutamaan do’a ini sebenarnya tidak berasal dari wahyu sama sekali, bahkan yang
membuat-buat hadits tersebut telah berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Jadi mana mungkin amalan seperti ini
diamalkan.[11]
Amalan kedua: Puasa awal dan akhir
tahun
Sebagian orang ada yang mengkhsuskan
puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah dan awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang
dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun. Dalil yang digunakan adalah berikut
ini.
“Barang siapa yang berpuasa sehari
pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom,
maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka
tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta'ala menjadikan
kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.”
Lalu bagaimana penilaian ulama pakar
hadits mengenai riwayat di atas:
- Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
- Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
- Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits.[12]
Kesimpulannya hadits yang
menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun adalah hadits yang lemah yang
tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga tidak perlu mengkhususkan
puasa pada awal dan akhir tahun karena haditsnya jelas-jelas lemah.
Amalan Ketiga: Memeriahkan Tahun
Baru Hijriyah
Merayakan tahun baru hijriyah dengan
pesta kembang api, mengkhususkan dzikir jama’i, mengkhususkan shalat tasbih,
mengkhususkan pengajian tertentu dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah,
menyalakan lilin, atau membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang
tidak ada tuntunannya. Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak
pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr,
‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama
sesudahnya. Yang memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi
tahun baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal perbuatan semacam ini
jelas-jelas telah menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Barangsiapa yang menyerupai suatu
kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[13]
Penutup
Menyambut tahun baru hijriyah
bukanlah dengan memperingatinya dan memeriahkannya. Namun yang harus kita ingat
adalah dengan bertambahnya waktu, maka semakin dekat pula kematian.
Sungguh hidup di dunia hanyalah
sesaat dan semakin bertambahnya waktu kematian pun semakin dekat. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku tidaklah mencintai dunia dan
tidak pula mengharap-harap darinya. Adapun aku tinggal di dunia tidak lain
seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu
meninggalkannya.”[14]
Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai
manusia, sesungguhnya kalian hanya memiliki beberapa hari. Tatkala satu hari
hilang, akan hilang pula sebagian darimu.”[15]
Semoga Allah memberi kekuatan di
tengah keterasingan. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala
kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di wisma MTI
(secretariat YPIA), 30 Dzulhijah 1430 H.
[1] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu
Rajab Al Hambali, hal. 217, Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawas, Dar Ibnu
Katsir, cetakan kelima, 1420 H.
[2] HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim
no. 1679
[3] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul
Jauziy, tafsir surat
At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir.
[4] Kedua perkataan ini dinukil dari
Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali.
[5] HR. Muslim no. 2812
[6] Lihat Tuhfatul Ahwadzi,
Al Mubarakfuri, 3/368, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[7] Lihat Faidul Qodir, Al
Munawi, 2/53, Mawqi’ Ya’sub.
[8] Syarh Suyuthi li Sunan An
Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami,
cetakan kedua, tahun 1406 H.
[9] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
Ibnu Katsir, tafsir surat
Al Ahqof: 11, 7/278-279, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[10] Idem
[11] Lihat Majalah Qiblati edisi
4/III.
[12] Hasil penelusuran di http://dorar.net
[13] HR. Ahmad dan Abu Daud.
Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini
jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana
dalam Irwa’ul Gholil no. 1269
[14] HR. Tirmidzi no. 2551.
Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi
[15] Hilyatul Awliya’, 2/148,
Darul Kutub Al ‘Arobi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar